Tapi,
demi keyakinan terhadap nilai akidah, maka perintah memberi hormat
kepada dewa matahari itu tidak dilakukannya. Keteguhan sikap Haji Karim
Amrullah itulah yang kemudian oleh Hamka terus dibawa sepanjang usia.
Berkali-kali dalam situasi genting ia berani menyatakan diri menolak hal
apa pun yang melanggar nilai dasar agama, meskipun itu berarti membuka
lebar pintu penjara.
Hamka
yang lahir di sisi danau Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908,
mampu menunjukkan sikap teguh terhadap perkembangan arus zaman hingga
akhir masa hidupnya. Sebagai anak manusia yang lahir di bumi
Minangkabau, Hamka memang tidak sempat mengenyam pendidikan formal yang
tinggi. Sekolahnya hanya dijalani selama tiga tahun. Namun, karena bakat
intelektualnya yang berlebih, terutama dalam penguasaan bahasa Arab, ia
kemudian tumbuh dan besar menjadi ulama yang disegani, bahkan
seringkali disebut salah satu ulama besar Asia Tenggara.
Darah
dari pihak orang tua sebagai tokoh pembaru ajaran Islam dan perjuangan
nasional kemerdekaan, membuat telinga Hamka semenjak masa kanak sudah
akrab dengan berbagai pembicaraan mengenai dunia keilmuan. Diskusi yang
dilakukan sang ayah bersama rekan-rekannya yang memelopori gerakan Islam
Kaum Muda Mingkabau itu ternyata tanpa sadar tertanam kuat di hatinya.
Dan,
layaknya seorang anak muda yang gelisah dan didukung kebiasaan orang
Minangkabau yang suka merantau, Hamka sejak usia sangat belia sudah
seringkali meninggalkan rumah. Pada umur 16 tahun misalnya, ia sudah
pergi ke Yogyakarta untuk menimba ilmu dari berbagai tokoh pergerakan
Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, H Oemar Said Tjokroaminoto, RM
Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin. Kursus-kursus para tokoh pergerakan
yang diadakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta, untuk
beberapa lama diikutinya. Alhasil, jiwa pergerakannya menjadi tumbuh
semakin kuat, apalagi setelah ia tinggal di rumah iparnya yang menjadi
ketua cabang Persyarikatan Muhammadiyah, A.R Mansur di Pekalongan. Di
situlah Hamka mendapat ‘udara’ pengalaman pertamanya di
dalam mengurus keorganisasian.
Setelah
beberapa lama tinggal bersama iparnya, pada Juli 1925, Hamka pulang
kampung ke Sumatera Barat. Ia kembali ke rumah ayahnya yang berada di
Gatangan, Padangpanjang. Disitulah ia kemudian mendirikan Majelis
Tabligh Muhammadiyah. Semenjak itulah sejarah kiprah Hamka dalam
organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu dimulai. Dan baru berakhir
beberapa puluh tahun ke depan sebelum ia wafat.
Berhaji Sembari Mencari Ilmu ke Mekah
Berhaji Sembari Mencari Ilmu ke Mekah
Setelah
sekitar dua tahun berkiprah di kampung halamannya, pada Februari 1927
Hamka berangkat ke Mekah. Selain untuk menunaikan ibadah haji,
kepergiannya itu juga dimanfaatkan untuk menimba ilmu dengan tinggal di
sana selama setengah tahun. Sembari mengkaji ilmu agama ke berbagai
tokoh keagamaan Islam yang mengajar di Baitul Haram, untuk mencukupi
biaya hidup sehari-harinya, Hamka bekerja pada sebuah percetakan. Ia
baru pulang ke tanah air sekitar bulan Juni 1927 dan langsung menuju ke
Medan. Di sana ia kemudian pergi ke daerah perkebunan yang ada di
sekitar wilayah pantai timur Sumatera (Deli) untuk menjadi guru agama.
Pekerjaan ini dilakoninya sekitar lima bulan. Pada akhir tahun 1927, ia
baru sampai kembali ke kampung halamannya di Padangpanjang.
Keterlibatannya
dalam organisasi Muhammadiyah semakin intens ketika pada tahun 1928 ia
diundang menjadi peserta kongres Muhammadiyah yang diselenggarakan di
Solo. Dan setelah pulang, karirnya di persyarikatan semakin gemilang.
Hamka secara berangsur memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua
bagian Taman Pustaka, kemudian Ketua Majelis Tabligh, sampai akhirnya
meraih jabatan Ketua Muhammadiyah Cabang Padangpanjang. Bahkan, pada
tahun 1930 ia mendapat tugas khusus dari pengurus pusat persyarikatan
untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis. Hamka di sini sudah
mulai diakui eksistensinya.
Usai
mendirikan cabang di Bengkalis, pada 1931 Pengurus Pusat Muhammadiyah
mengutus Hamka pergi ke Makassar. Tugas yang harus diembannya adalah
menjadi mubalig dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat
rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 yang diselenggarakan
pada Mei 1932. Hamka tinggal di sana selama dua tahun. Pada 1934 ia
kembali ke Padangpanjang untuk kemudian diangkat menjadi Majelis Konsul
Muhammadiyah Sumatera Tengah.
Berdakwah di atas Gagasan Roman
Kiprah
Hamka dalam pergerakan semakin gencar setelah ia pindah ke Medan, pada
22 Januari 1936. Persyarikatan Muhammadiyah semakin meluas ke segenap
wilayah Sumatera bagian timur. Pada sisi lain, secara perlahan tapi
pasti kemampuan intelektual dan kepenulisannya juga semakin terasah,
terutama setelah ia memimpin majalah Pedoman Masyarakat dan Pedoman
Islam (1938-1941). Berbagai artikel keagamaan serta cerita pendek
ditulisnya dengan bahasa dan logika yang demikian jernih. Bakat
menulisnya sebagai sastrawan serius pada dekade ini juga berkembang
secara simultan dengan kemampuan orasinya yang amat memukau.
Selain
sibuk berceramah, Hamka kemudian menerbitkan berbagai karya roman
seperti: Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938), Tenggelamnnya Kapal van Der
Wick (1939), Merantau ke Deli (1940), Di dalam Lembah Kehidupan (1940,
kumpulan cerita pendek). Isi berbagai romannya itu tampak jelas
terpengaruh dari pengalaman pribadinya ketika ia pergi ke Mekah dan
tinggal beberapa lama menjadi guru agama di lingkungan buruh perkebunan
yang ada di Sumatera bagian timur.
Pada
kurun waktu ini ada satu karya Hamka yang sangat penting. Buku yang
diterbitkan pada tahun 1939 itu diberi judul Tasawuf Modern. Hamka dalam
buku ini mengkritisi kecenderungan dari berbagai aliran tasawuf yang
'berpretensi negatif' terhadap kehidupan dunia. Tasawuf banyak dijadikan
sebagai cara untuk mengasingkan diri dari kehidupan dunia yang sering
dipandang serba ruwet dan penuh kotoran dosa. Hamka dalam buku ini
berusaha merubah persepsi itu. Ia menyerukan 'tasawuf positip' yang
tidak bersikap asketisme. Katanya, menjadi Muslim sejati bukannya
menjauhkan diri dari dunia, tapi terjun secara langsung ke dalamnya.
Buku Hamka ini sampai sekarang tetap laris manis di pasaran.
Kemudian,
pada tahun 1942 bersamaan dengan jatuhnya koloni Hindia Belanda ke
dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan
Muhammadiyah Sumatera Timur. Posisi jabatan yang diterima pada masa
sulit ekonomi ini dijalaninya selama tiga tahun. Setelah itu, pada tahun
1945 ia memutuskan untuk melepaskan jabatan tersebut karena pindah ke
Sumatera Barat. Di sana Hamka terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan
Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat. Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun
1949.
Menjelang pengakuan kedaulatan, yakni setelah tercapainya Persetujuan Roem Royen pada tahun 1949, ia memutuskan pindah dari Sumatera Barat ke Jakarta. Kali ini Hamka merintis karir sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang waktu itu dipegang oleh KH Abdul Wahid Hasyim. Melihat kemampuan intelektualnya, menteri agama waktu itu menugaskan kepada Hamka untuk memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi Islam, baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa.
Menjelang pengakuan kedaulatan, yakni setelah tercapainya Persetujuan Roem Royen pada tahun 1949, ia memutuskan pindah dari Sumatera Barat ke Jakarta. Kali ini Hamka merintis karir sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang waktu itu dipegang oleh KH Abdul Wahid Hasyim. Melihat kemampuan intelektualnya, menteri agama waktu itu menugaskan kepada Hamka untuk memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi Islam, baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa.
Beberapa
perguruan tinggi yang sempat menjadi tempat mengajarnya itu antara
lain; Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, Universitas
Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di
Padangpanjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar, dan
Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan. Uniknya lagi, di
tengah kesibukannya sebagai pengajar di berbagai universitas itu, Hamka
sempat menulis biografi ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah. Katanya,
buku yang ditulisnya ini adalah sebagai kenang-kenangan kepada ayahnya
yang sangat teguh hati. Apalagi bagi sang ayah sendiri, Hamka adalah
buah hatinya dimana ia pernah dijuluki sebagai 'Si Bujang Jauh' karena
begitu sering dan lamanya merantau pergi ke berbagai negeri dan daerah.
Di sela
kegiatannya mengajar di berbagai universitas itu, Hamka mengulang
kembali kepergiannya untuk beribadah haji ke tanah suci. Sama dengan
kepergian hajinya yang dilakukan 24 tahun silam, kepergiannya ke Mekah
kali ini juga disertai dengan perjalanannya ke beberapa negara yang
berada di kawasan semenanjung Arabia. Hamka sendiri sangat menikmati
lawatannya itu. Apalagi ketika berada di Mesir. Ia menyempatkan diri
untuk menemui berbagai sastrawan kondang Mesir yang telah lama
dikenalnya melalui berbagai tulisannya, seperti Husein dan Fikri Abadah.
Mereka saling bertemu, bertukar pikiran dan minat dalam bidang sastera
dan kehidupan umat secara keseluruhan.
Sama
halnya dengan kepulangan haji pertamanya, sekembalinya dari lawatannya
ke berbagai negara di Timur Tengah itu, inspirasi untuk membuat karya
sastera pun tumbuh kembali. Lahirlah kemudian beberapa karya roman
seperti, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi
Sungai Dajlah. Bagi banyak kritikus sastera banyak diantara mereka
menyebut bahwa, Hamka dalam penulisan karyanya itu banyak terpengaruh
pujangga Mesir. Ini tampaknya dapat dipahami sebab ia seringkali
menyatakan terkagum-kagum pada beberapa penulis karya dari negeri
piramid itu, salah satunya adalah Al Manfaluthi.
Usai
pulang dari kunjungan ke beberapa negara Arab, pada tahun 1952 ia
mendapat kesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat. Hamka
datang ke negara itu atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika. Ia
mengunjungi berbagai tempat, seperti negara bagian California, untuk
memberikan ceramah yang berkaitan dengan agama. Kunjungan ke Amerika
kali ini ternyata hanya merupakan kunjungan pembuka saja. Setelah itu ia
kemudian kerapkali diundang ke sana, baik atas undangan dari negara
bersangkutan maupun datang sebagai anggota delegasi yang mewakili
Indonesia.
Pada kurun waktu itu, Hamka kemudian masuk ke dalam Badan Konstituate mewakili Partai Masyumi dari hasil Pemilu 1955. Ia dicalonkan Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi di Jawa Tengah. Dalam badan ini Hamka bersuara nyaring menentang demokrasi terpimpin. Pada sebuah acara di Bandung, pada tahun 1958 ia secara terbuka menyampaikan pidato penolakan gagasan demokrasi terpimpin ala Soekarno itu.
Pada kurun waktu itu, Hamka kemudian masuk ke dalam Badan Konstituate mewakili Partai Masyumi dari hasil Pemilu 1955. Ia dicalonkan Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi di Jawa Tengah. Dalam badan ini Hamka bersuara nyaring menentang demokrasi terpimpin. Pada sebuah acara di Bandung, pada tahun 1958 ia secara terbuka menyampaikan pidato penolakan gagasan demokrasi terpimpin ala Soekarno itu.
Namun,
di tengah panas dan padatnya perdebatan, Hamka pada tahun itu juga
sempat mendapat undangan menjadi anggota delegasi Indonesia untuk
mengikuti Simposium Islam di Lahore. Setelah itu, kemudian dia
berkunjung lagi ke Mesir. Dalam kesempatan kali ini dia mendapat
kehormatan bidang intelektual sangat penting, yakni mendapat gelar
Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Di forum
itu, ia menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru besar luar biasa
dengan topik bahasan mengenai Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia.
Dalam
kesempatan ini Hamka menguraikan kebangkitan pembaharuan ajaran Islam
yang terjadi di Indonesia, mulai dari munculnya gerakan Sumatera
Thawalib, Muhammadiyah. Al Irsyad, dan Persatuan Islam. Gelar doktor
luar biasa seperti ini ternyata diterimanya lagi enam belas tahun
kemudian, yakni pada tahun 1974 dari University Kebangsaan, Malaysia.
Gelar ini disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul
Razak. Seraya memberikan gelar, dalam pidatonya sang perdana menteri itu
berkata bahwa,'Hamka bukan lagi hanya milik bangsa Indonesia. Tetapi,
juga telah menjadi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.'
Menapak di antara Dua Orde
Masa
Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno menjadikan politik
sebagai panglima. Waktu itu Soekarno menginginkan agar bangsa Indonesia
betul-betul mandiri. Ia serukan gerakan untuk melawan imperialisme
barat, yang disebut sebagai kekuatan neo-kolonialisme baru. Pada satu
sisi ide ini berhasil cukup baik. Posisi Indonesia menjadi penting dan
menjadi salah satu kekuatan sentral gerakan non blok. Namun, pada sisi
yang lain perbaikan ekonomi ternyata tidak dapat berjalan baik.
Pertentangan politik, terutama antara golongan nasionalis dan Islam
menjadi-jadi, di mana kemudian mencapai puncaknya ketika pembicaraan
mengenai konstitusi negara menjadi buntu. Baik pihak yang anti dan
pendukung ide negara Islam terus saja tidak mampu berhasil mencapai kata
sepakat. Dan Hamka hadir dalam percaturan perdebatan itu.
sepakat. Dan Hamka hadir dalam percaturan perdebatan itu.
Sayangnya,
Presiden Soekarno tidak sabar melihat perdebatan itu. Dengan alasan
adanya ancaman perpecahan bangsa yang serius, Soekarno pada 5 Juli 1959
kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden, yang diantaranya adalah
menyatakan pembubarkan Badan Konstituante dan kembali kepada konstitusi
negara pada UUD 1945. Menyikapi keadaan tersebut, Hamka pada tahun yang
sama, yakni Juli 1959, mengambil inisiatif menerbitkan majalah tengah
bulanan, Panji Masyarakat. Hamka duduk sebagai pemimpin redaksinya.
Sedangkan mengenai isi majalahnya, Hamka memberi acuan untuk memuat
tulisan yang menitikberatkan kepada soal-soal kebudayaan dan pengetahuan
ajaran Islam.
Tetapi
sayangnya, majalah ini berumur pendek, yakni hanya satu tahun. Majalah
Panji Masyarakat dibubarkan oleh pemerintahan rezim Soekarno, tepatnya
pada tanggal 17 Agustus 1960. Alasan pembreidelan: karena majalah memuat
tulisan Dr Mohamad Hatta yang berjudul Demokrasi Kita.
Sebagai imbasnya, Hamka kemudian memutuskan diri untuk lebih memusatkan
pada kegiatan dakwah Islamiyah dengan mengelola Masjid Agung Al-Azhar
yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta.
Dalam
dunia politik pemuatan tulisan Hatta di majalah Panji Masyarakat itu
memang membuat kehebohan besar. Perbedaan pandangan antara Soekarno dan
Hatta dalam mengelola negara terbuka dengan nyata. Dalam tulisan itu
Hatta mengkritik keras sistem demokrasi terpimpin yang dijalankan
karibnya, Soekarno. Menurutnya, demokrasi yang tengah dijalankannya itu
bukan demokrasi. Mengapa demikian? Sebab, ada sebagian kecil orang
'menguasai' sebagian besar orang. Ini tidak sesuai dengan prinsip
demokrasi itu sendiri, di mana harus ada 'persamaan' pada setiap
manusia. Maka, demokrasi seperti itu, tulis Bung Hatta, a priori harus
ditolak.
Panasanya
persaingan politik pada sisi lain juga kemudian meniupkan badai fitnah
kepada Hamka. Jaringan kelompok politik kiri membuat tuduhan bahwa roman
Tenggelamnya Kapal van der Wijk adalah merupakan plagiat dari roman
sastrawan Perancis, Alphonse Karr yang kemudian disadur ke dalam bahasa
Arab oleh Al Manfaluthi. Reaksi pro kontra segera saja menyergapnya.
Golongan yang tidak suka akan adanya pengaruh agama di Indonesia
memanfaatkan betul polemik ini untuk menghancurkan nama baiknya. Saat
itu hanya HB Jassin dan kelompok budayawan yang tergabung dalam Manifes
Kebudayaan (Manikebu) saja yang gigih membelanya. Berbagai tulisan atas
polemik ini kemudian pada tahun 1964 dikumpulkan dan diterbitkan oleh
Junus Amir Hamzah dengan judul Tenggelamnya Kapal van der Wijk dalam
Polemik.
Usaha
penjatuhan citra kepada Hamka ternyata tidak hanya melalui karya sastra
saja. Tanpa dasar serta alasan tuduhan yang jelas, pada 27 Januari 1964
tiba-tiba saja ia ditangkap oleh alat keamanan negara. Hamka kemudian
dimasukkan ke dalam tahanan tanpa ada sebuah keputusan. Ia berada di
penjara bersama para tahanan politik lainnya, seperti Muchtar Lubis,
sampai tumbangnya tampuk kekuasaan Soekarno. Bagi penguasa, Hamka saat
itu dianggap sebagai orang berbahaya.
Namun,
bagi Hamka sendiri, masuknya dia ke dalam penjara malahan seringkali
dikatakan sebagai rahmat Allah. Menurutnya, akibat banyaknya luang waktu
dipenjara maka ia dapat menyelesaikan tafsir Alquran, yakni Tafsir
Al-Azhar (30 juz). Saya tidak bisa membayangkan kapan saya bisa
menyelesaikan tafsir ini kalau berada di luar. Yang pasti kalau tidak
dipenjara maka saya selalu punya banyak kesibukan. Akhirnya, tafsir ini
sampai akhir hayat saya mungkin tidak akan pernah dapat diselesaikan,
kata Hamka ketika menceritakan masa-masa meringkuk di dalam penjara.
Selain itu, beberapa tahun kemudian Hamka juga mengakui bahwa tafsir
Alquran ini adalah merupakan karya terbaiknya.
Menjadi Imam dalam Shalat Jenazahnya Bung Karno
Menjadi Imam dalam Shalat Jenazahnya Bung Karno
Seperti
sunnatullah, bahwa penguasa itu datang dan pergi silih berganti, maka
setelah naiknya Presiden Soeharto dalam tampuk kekuasaan negara, secara
perlahan kondisi fisik presiden Soekarno setelah itu pun terus menyurut.
Berbeda dengan ketika berkuasa, hari-hari terakhir Panglima Besar
Revolusi ini berlangsung dengan pahit. Soekarno tersingkir dari
kehidupan ramai sehari-hari. Ia terasing dengan kondisi sakit yang akut
di rumahnya. Soekarno terkena tahanan kota. Ia tidak diperbolehkan
menerima tamu dan bepergian. Pada tahun 1971 Soekarno pun meninggal
dunia.
Mendengar
Soekarno meninggal, maka Hamka pun pergi untuk bertakziah. Tidak cukup
dengan itu, Hamka kemudian mengimami shalat jenazah mantan presiden
pertama itu. Pada saat itu orang sempat terkejut dan bingung ketika
Hamka bersedia hadir dalam acara tersebut. Mereka tahu Soekarno-lah
dahulu yang memutuskan untuk memasukkannya dalam penjara. Saya sudah
memaafkannya. Dibalik segala kesalahannya sebagai manusia, Soekarno itu
banyak jasanya, kata Hamka.
Setelah
itu, masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto bergerak semakin
cepat. Hamka semakin dalam menceburkan diri ke berbagai aktivitas
keagamaan. Secara rutin ia berceramah ke berbagai wilayah baik dalam dan
luar negeri. Setiap pagi sehabis Subuh siraman rohaninya yang disiarkan
secara nasional melalui RRI terdengar ke berbagai penjuru pelosok tanah
air. Dengan suara khas serak-serak basahnya, Hamka membahas berbagai
soal kehidupan, mulai tingkat sangat sepele seperti cara bersuci yang
benar sampai kepada persoalan sangat serius, misalnya soal tasawuf.
Saking banyaknya penggemar, maka ceramahnya pun banyak diperjualbelikan
dalam bentuk rekaman di tokok-toko kaset.
Pada
tahun 1975, Hamka diberi kepercayaan untuk duduk sebagai Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berbagai pihak waktu itu sempat sangsi,
bila itu diterima maka ia tidak akan mampu menghadapi intervensi
kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu
berlangsung dengan sangat massif. Namun, Hamka menepis keraguan itu
dengan mengambil langkah memilih masjid Al-Azhar sebagai pusat kegiatan
MUI dari pada berkantor di Masjid Istiqlal. Istilahnya yang terkenal
waktu itu adalah kalau tidak hati-hati nasib ulama itu akan seperti kue
bika, yakni bila MUI terpanggang dari atas (pemerintah) dan bawah
(masyarakat) terlalu panas, maka situasinya akan menjadi sulit. Bahkan
MUI bisa akan mengalami kemunduran serius.
Usaha
Hamka untuk membuat independen lembaga MUI menjadi terasa sangat kental
ketika pada awal dekader 80-an, lembaga ini berani melawan arus dengan
mengeluarkan fatwa mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Hamka
menyatakan haram bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu.
Adanya fatwa itu kontan saja membuat geger publik. Apalagi terasa waktu
itu arus kebijakan pemerintah tengah mendengungkan isu toleransi.
Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan natal. Bila ada
orang Islam yang tidak bersedia ikut merayakan natal maka mereka
dianggap orang berbahaya, fundamentalis, dan anti Pancasila. Umat Islam
pun merasa resah.
Keadaan
itu kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Risikonya Hamka pun
mendapat kecaman. MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai pendapat
di media massa yang menyatakan bahwa keputusannya itu akan mengancam
persatuan negara. Hamka yang waktu itu berada dalam posisi sulit, antara
mencabut dan meneruskan fatwa itu, akhirnya kemudian memutuskan untuk
meletakkan jabatannya. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei 1981.
Bagi
pengamat politik, sikap tegas Hamka ketika memimpin MUI adalah merupakan
cerminan dari pribadinya. Bahkan, mereka pun mengatakan sepeninggal
Hamka, kemandirian lembaga ini semakin sulit. Demi melanggengkan
hegemoni Orde Baru kemudian terbukti melakukan pelemahan institusi
keagamaan secara habis-habisan itu. Fatwa MUI sepeninggal dia terasa
menjadi tidak lagi menggigit. Posisi lembaga ini semakin lemah dan
terkesan hanya sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah terhadap umat
Islam belaka.
Hamka
yang wafat di Jakarta, 24 Juli 1981, meninggalkan karya pena yang sangat
banyak jumlahnya. Tercatat paling tidak sekitar 118 buah yang sudah
dibukukan. Ini belum termasuk berbagai cerita pendek dan karangan
panjang yang tersebar di berbagai penerbitan, media massa, dan
forum-forum ilmiah, serta ceramah. Sebagai bukti penghargaan yang tinggi
dalam bidang keilmuan, Persyarikatan Muhammadiyah kini telah
mengabadikan namanya pada sebuah perguruan tinggi yang berada di
Yogyakarta dan Jakarta: Universitas Hamka (UHAMKA). Berbagai karya
tulisnya yang meliputi banyak bidang kajian seperti politik, sejarah,
budaya, akhlak dan ilmu-ilmu keislaman hingga kini terus dikaji oleh
publik, termasuk menjadi bahan kajian dan penelitian untuk penulisan
risalah tesis dan disertasi. Buku-bukunya terus mengalami cetak ulang.
-----------------------------------------------------------------------------------
mari kita panjatkan doa, semoga almarhum Buya Hamka mendapatkan tempat yang baik disisi Allah SWT, amin ya Rabbal alamin
-----------------------------------------------------------------------------------
mari kita panjatkan doa, semoga almarhum Buya Hamka mendapatkan tempat yang baik disisi Allah SWT, amin ya Rabbal alamin
sumber : http://www.pandaisikek.net
No comments:
Post a Comment